Pengertian Mempelajari Fiqih Hukum Sejarah Keutamaan Lengkap – Pada pembahasan ini mari kita melihat Ringkasan Fiqih. Yang meliputi Pengertian baik secara bahasa dan istilah. Hukum pentingnya belajar ilmu fiqih, Sejarah fiqih menurut para ulama dan Keutamaan dengan pembahasan lengkap dan mudah dipahami. Untuk lebih jelasnya mari lihat artikel Pengetahuanislam.com mengenai Pengertian Mempelajari Fiqih Hukum Sejarah Keutamaan berikut.
Pengertian Mempelajari Fiqih Hukum Sejarah Keutamaan Lengkap
Dalam pembahasan kali ini akan menjelaskan mengenai Pengertian Mempelajari Fiqih Hukum Sejarah Keutamaan dengan secara singkat dan jelas.
Pengertian Fiqih
Adapun Kata fiqih (فقه) menurut bahasa terdapat dua makna. Pertama adalah al fahmu al mujarrad (الفهم المجرد), yang artinya adalah mengerti secara langsung / sekedar mengerti saja. (Muhammad bin Mandhur, Lisanul Arab, madah: fiqih Al Mishbah Al Munir) Kata fiqih yang berarti sekedar mengerti atau memahami, disebutkan di dalam ayat Al Quran Al Karim, ketika Allah menceritakan kisah kaum Nabi Syu’aib ‘Alaihis Salam yang tidak mengerti ucapannya.
Artinya : “Mereka berkata, ‘Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu.” (QS. Hud: 91).
Makna Kedua fiqih dalam arti mengerti atau memahami yang mendalam, bisa temukan di dalam Al Quran Al Karim pada ayat berikut ini:
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At Taubah: 122)
Sabda Rasulullah Saw:
“Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya.” (Muslim no. 1437, Ahmad no. 17598, Daarimi no. 1511)
Adapun menurut istilah, fiqh berarti ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syara’ yang berkenaan dengan amal perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dalil tafsil (jelas). Orang yang mendalami fiqh disebut dengan faqih. Jama’nya adalah fuqaha, yakni orang-orang yang mendalami fiqh. Menurut para ahli fiqh (fuqaha), fiqh adalah mengetahui hukum-hukum shara’ yang menjadi sifat bagi perbuatan para hamba (mukallaf), yaitu: wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
Imam Syafii memberikan definisi yang komprehensif, “Al ‘ilmu bi al ahkaam al syar’iyyah al ‘amaliyyah al muktasabah min adillatiha al tafshiliyyah” Yakni mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah yang didapatkan dari dalil-dalil yang terperinci. ‘al ilm’ pada definisi ini bermakna pengetahuan secara mutlak yang didapatkan secara yakin atau dzanni. Karena hukum yang terkait dengan amaliyah ditetapkan dengan dalil yang bersifat qath’I atau pun dzanni. Al ahkam bermakna tuntutan Allah sebagai pembuat hukum, atau khitab Allah yang terkait dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa kewajiban, sunnah, larangan, makruh atau mubah.
Sejarah Fiqih
Berikut ini seputar perkembangan sejarah fiqih, antara lain:
Pada masa Nabi Muhammad SAW.
Ini juga disebut sebagai periode risalah, karena pada masa-masa ini agama Islam baru didakwahkan. Pada saat periode ini, permasalahan fiqih diserahkan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad SAW yang mana Sumber hukum Islam saat itu adalah wahyu dari Allah SWT serta perkataan dan perilaku Nabi SAW. Periode Risalah ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu periode Makkah dan periode Madinah. Periode Makkah lebih tertuju pada permasalah akidah, karena disinilah agama Islam pertama kali disebarkan. Ayat-ayat yang diwahyukan lebih banyak pada masalah ketauhidan dan keimanan.
Setelah Nabi hijrah
Fiqih pada Masa Sahabat
Masa dimana awal berkembangnya Fiqih
yang mana pada periode ini, para faqih mulai berbenturan dengan adat, budaya dan tradisi yang terdapat pada masyarakat Islam kala itu. Ketika menemukan sebuah masalah, para faqih berusaha mencari jawabannya dari Al-Qur’an. Jika di Al-Qur’an tidak diketemukan dalil yang jelas, maka hadis menjadi sumber kedua . Dan jika tidak ada landasan yang jelas juga di Hadis maka para faqih ini melakukan ijtihad.
Masa ini berlangsung sejak berkuasanya Mu’awiyah bin Abi Sufyan sampai sekitar abad ke-2 Hijriah. Rujukan dalam menghadapi suatu permasalahan masih tetap sama yaitu dengan Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad para faqih. Tapi, proses musyawarah para faqih yang menghasilkan ijtihad ini seringkali terkendala disebabkan oleh tersebar luasnya para ulama di wilayah-wilayah yang direbut oleh Kekhalifahan Islam.
Mulailah muncul perpecahan antara 7 Islam menjadi tiga golongan yaitu Sunni, Syiah, dan Khawarij. Perpecahan ini berpengaruh besar pada ilmu fikih, karena akan muncul banyak sekali pandangan-pandangan yang berbeda dari setiap faqih dari golongan tersebut. Masa ini juga diwarnai dengan munculnya hadis-hadis palsu yang menyuburkan perbedaan pendapat antara faqih.
Pada masa ini, para faqih seperti Ibnu Mas’ud mulai menggunakan nalar dalam berijtihad. Ibnu Mas’ud kala itu berada di daerah Iraq yang kebudayaannya berbeda dengan daerah Hijaz tempat Islam awalnya bermula. Umar bin Khattab pernah menggunakan pola yang dimana mementingkan kemaslahatan umat dibandingkan dengan keterikatan akan makna harfiah dari kitab suci, dan dipakai oleh para faqih termasuk Ibnu Mas’ud untuk memberi ijtihad di daerah di mana mereka berada.
Hukum Mempelajari Fiqih
Hukum mempelajari Fiqih terbagi menjadi 2 yaitu Fardhu ‘Ain dan Fardhu Kifayah. Jika berkaitan dengan masalah-masalah yang wajib bagi setiap muslim untuk mengetahuinya maka hukum mempelajarinya adalah Fardhu ‘Ain bagi setiap muslim. Seperti masalah yang berkaitan dengan thaharah atau sifat Shalat yag sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka wajib bagi setiap muslim mempelajarinya. Berdosa bagi yang tidak mengetahuinya. Ia bisa mengetahuinya baik dengan bertaqlid kepada ulama ataupun berijtihad jika memiliki kemampuan.
Ada lagi masalah-masalah yang kadang-kadang hanya diperlukan oleh sebagian muslim, artinya tidak semua muslim berhubungan langsung dengan masalah tersebut. Dalam hal ini tidak wajib bagi setiap muslim mengetahuinya. Mempelajari masalah Fiqih ini hukumnya Fardhu Kifayah. Misalnya hukum zakat saham. Tidak semua muslim harus mengetahuinya. Seseorang yang pekerjaan atau aktivitasnya berhubungan dengan zakat saham ini lah yang wajib mempelajarinya baik dengan taqlid ataupun dengan ijtihad (seperti Fardhu ‘Ain diatas).
Keutamaan Mempelajari Fiqih
Keutamaan mempelajari Fiqih terbagi menjadi dua macam. Pertama keutamaan Fiqih secara umum adalah keutamaan yang didapatkan ketika seseorang menuntut ilmu agama. Maksudnya setiap ada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menyebutkan keutamaan menuntut ilmu maka termasuk pula Fiqih didalamnya karena Fiqih termasuk ilmu syar’i. Misalkan saja hadits berikut ini,
“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Maka termasuk pula seseorang akan dimudahkan oleh Allah SWT. untuk jalan menuju surga. Demikian pula berlaku untuk seluruh dalil keutamaan menuntut ilmu agama.
Kedua keutamaan khusus mempelajari Fiqih, Menurut Imam Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan bahwa dalil paling utama untuk mengetahui keutamaan ilmu adalah dengan melihat kepada buah/hasil yang didapatkan ketika mempelajarinya. Barang siapa yang mengamati buah Fiqih ia akan menyadari bahwa Fiqih adalah ilmu yang sangat utama. Karena, jika mengamati buah Fiqih yaitu hukum-hukum syar’i mengenai kejadian atau perbuatan manusia di masa sekarang atau di masa lalu, kita akan menemukan bahwa kebutuhan manusia terhadap Fiqih (yang memuat hukum-hukum perbuatan manusia) adalah kebutuhan yang lebih besar dibandingkan kebutuhan mereka terhadap ulama ilm-ilmu syari’ah yang lain. Kebutuhan manusia terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan shalat thaharah, puasa, haji, nikah, perselisihan antara suami-istri, talaq, dan lain-lain.
Demikianlah telah dijelaskan tentang Pengertian Mempelajari Fiqih Hukum Sejarah Keutamaan Lengkap semoga bermanfaat sehingga dapat menambah wawasan dan pengetahuan kalian. Terimakasih telah berkunjung dan jangan lupa untuk membaca artikel lainnya.