Fiqih : Mahram karena Rodo’ (Sesusuan) – Rodho’ (atau radha’ah) adalah terjadinya hubungan kekerabatan mahram karena sesusuan walaupun bukan anak kandung dalam pengertian yang umum. Hubungan mahram karena rodo’ sama dengan kekerabatan karena keturunan yakni meliputi (a) anak dengan perempuan yang menyusui; (b) anak yang disusui dengan anaknya ibu yang menyusui; dll.
Nama kitab: Terjemah Kitab Fathul Qorib
Judul kitab asal: Fathul Qarib Al-Mujib fi Syarhi Alfazh Al-Taqrib atau Al-Qawl Al-Mukhtar fi Syarh Ghayatil Ikhtishar (فتح القريب المجيب في شرح ألفاظ التقريب أو القول المختار في شرح غاية الإختصار)
Pengarang: Abu Abdillah Muhammad bin Qasim bin Muhammad Al-Ghazi ibn Al-Gharabili
Bidang studi: Fiqih madzhab Syafi’i
Bab Radha’ (Kerabat Sesusuan)
Pengertian Rodho’
(Pasal) menjelaskan hukum-hukum rodho’ dengan terbaca fathah atau kasrah huruf ra’nya.
Rodho’ secara bahasa adalah nama untuk menghisap puting dan meminum air susunya.
Dan secara syara’ adalah masuknya air susu wanita anak Adam tertentu ke dalam perut anak adam tertentu dengan cara yang tertentu juga.
Rodo’ah hanya bisa sah dengan air susu wanita yang masih hidup dan mencapai usia sembilan tahun Qamariyah, baik perawan atau janda, tidak bersuami atau memiliki suami.
Konsekwensi Rodo’ dan Syarat-Syaratnya
Ketika seorang wanita menyusui seorang anak dengan air susunya, baik sang anak meminum air susu tersebut saat si wanita masih hidup atau setelah meninggal dunia dengan syarat air susu itu diambil saat si wanita masih hidup, maka anak yang ia susui menjadi anaknya dengan dua syarat.
Salah satunya, usia anak tersebut kurang dari dua tahun sesuai dengan hitungan tanggal.
Dan permulaan dua tahun tersebut terhitung dari kelahiran anak tersebut secara sempurna.
Anak yang sudah mencapai dua tahun, maka menyusuinya tidak bisa memberikan dampak ikatan mahram.
Syarat kedua, wanita yang menyusui telah menyusui anak tersebut sebanyak lima kali susuan yang terpisah-pisah dan masuk ke perut sang bocah.
Yang digunakan batasan lima kali susuan itu adalah ‘urf. Sehingga susuan yang dianggap satu atau beberapa susuan oleh ‘urf, maka itulah yang dianggap. Jika tidak, ya maka tidak dianggap.
Sehingga, seandainya bocah yang disusui itu memutus hisapan di antara masing-masing lima susuan dengan berpaling dari puting, maka hisapan-hisapan itu dihitung terpisah(tidak jadi satu).
Suami wanita yang telah menyusui menjadi ayah sang bocah yang disusui.
Bagi murdla’ (bocah yang disusui), dengan terbaca fathah huruf dladnya, haram menikahi wanita yang menyusuinya dan wanita-wanita yang memiliki hubungan nasab dengan ibu susunya.
Dan bagi wanita yang menyusui haram menikah dengan murdla’, anaknya walaupun hingga ke bawah, dan orang yang memiliki ikatan nasab dengannya walaupun hingga ke atas.[1]
Bukan orang yang sederajat dengannya, maksudnya dengan bocah yang disusui seperti saudara-saudara laki-lakinya yang tidak ikut menyusu bersamanya.
Atau orang yang seatasnya, maksudnya dan bukan orang yang tingkatannya lebih atas daripada murdha’, maksudnya anak yang disusui seperti paman-pamannya.
Di dalam fasal yang menjelaskan tentang wanita-wanita yang haram dinikah, telah disinggung tentang orang-orang yang haram dinikah sebab nasab dan radla’ secara terperinci, maka ruju’lah kesana.
Catatan:
[1] Hal ini memiliki kejanggalan, dan penjelasannya terdapat di dalam kitab al Bajuri.
Bab Istibro’
Pengertian Istibro’
(Pasal) menjelaskan hukum-hukum istibra’
Istibra’ secara bahasa adalah mencari kebebasan.
Dan secara syara’ adalah penantian seorang wanita sebab baru datangnya kepemilikan pada dirinya, atau hilangnya kepemilikan dari dirinya, karena unsur ta’abbudi atau karena membersihkan rahimnya dari janin.
Hukum Istibra’
Istibra’ wajib dilakukan sebab dua perkara.
Salah satunya adalah hilangnya firasy (kepemilikan) atas diri budak wanita. Dan akan dijelaskan di dalam ungkapan matan, “ketika majikan budak ummu walad meninggal dunia” hingga akhir penjelasannya.
Sebab yang kedua adalah baru datangnya kepemilikan -atas diri budak wanita-. Dan mushannif menjelaskannya di dalam perkataan beliau,
Barang siapa baru memiliki budak wanita dengan cara membeli yang sudah tidak ada hak khiyar lagi, dengan warisan, wasiat, hibbah, atau yang lain dari cara-cara kepemilikan atas diri si budak wanita dan budak wanita tersebut bukanlah istrinya, ketika hendak mewathinya, maka bagi dia haram bersenang-senang dengan budak wanita tersebut hingga ia melakukan istibra’ padanya.
Jika budak wanita tersebut termasuk golongan wanita yang memiliki haidl, maka dengan satu kali haidl.
Walaupun dia masih perawan, walaupun sudah diistibra’ oleh penjualnya sebelum dijual, dan walaupun kepemilikannya perpindah dari anak kecil atau majikan wanita.
Jika budak wanita tersebut termasuk golongan wanita yang memakai perhitungan bulan, maka ‘iddahnya adalah satu bulan saja.
Jika budak wanita tersebut termasuk dari wanita hamil, maka ‘iddahnya dengan melahirkan kandungan.
Ketika seseorang membeli istrinya yang berstatus budak, maka disunnahkan baginya untuk melakukan istibra’ pada istrinya tersebut.
Adapun budak perempuan yang telah dinikahkan atau sedang melaksanakan ‘iddah, ketika seseorang membelinya, maka tidak wajib melakukan istibra’ padanya seketika itu.
Kemudian, ketika ikatan pernikahan dan ‘iddahnya telah hilang semisal budak wanita tersebut ditalak sebelum dijima’ ataupun setelahnya dan ‘iddahnya telah selesai, maka pada saat itulah wajib melakukan istibra’.
Ketika majikan budak ummu walad meninggaldunia dan ia tidak dalam ikatan pernikahan dan tidak pula dalam pelaksanaan ‘iddah nikah, maka wajib baginya melakukan istibra’ pada dirinya sendiri seperti halnya budak wanita.
Maksudnya, istibra’ yang dia lakukan adalah dengan satu bulan jika ia termasuk wanita-wanita yang menggunakan penghitungan bulan. Jika tidak, maka dengan satu kali haidl jika memang termasuk wanita-wanita yang menggunakan penghitungan masa suci.
Seandainya sang majikan melakukan istibra’ terhadap budak wanitanya yang pernah dijima’ kemudian ia merdekakan, maka bagi sang budak tidak wajib melakukan istibra’, dan baginya diperkenankan menikah seketika itu juga.