Fiqih : Larangan Saat Ihram – Ihram adalah saat di mana seseorang sedang berada di tengah prosesi ibadah haji atau umrah yang ditandai dengan memakai pakaian dua helai yang tidak berjahit bagi pria. Saat ihram ada 10 larangan yang haram dilakukan antara lain memakai pakaian yang dijahit.
Nama kitab: Terjemah Kitab Fathul Qorib
Judul kitab asal: Fathul Qarib Al-Mujib fi Syarhi Alfazh Al-Taqrib atau Al-Qawl Al-Mukhtar fi Syarh Ghayatil Ikhtishar (فتح القريب المجيب في شرح ألفاظ التقريب أو القول المختار في شرح غاية الإختصار)
Pengarang: Abu Abdillah Muhammad bin Qasim bin Muhammad Al-Ghazi ibn Al-Gharabili
Bidang studi: Fiqih madzhab Syafi’i
Ahkam Muharromat Al-Ihram
Hal-Hal Yang Diharamkan Saat Ihram
(Pasal) menjelaskan hukum-hukum muharramatul ihram (hal-hal yang diharamkan saat ihram).
Muharramatul ihram adalah hal-hal yang haram sebab ihram.
Ada sepuluh perkara yang diharamkan bagi orang yang sedang melaksanakan ihram.
Salah satunya adalah mengenakan pakaian yang berjahit seperti ghamis, juba dan muza. Mengenakan pakaian yang ditenun seperti baju jira. Atau pakaian yang digelung seperti pakaian yang digelungkan ke seluruh badan.
Yang ke dua adalah menutup kepala atau sebagiannya bagi orang laki-laki dengan menggunakan sesuatu yang dianggap sebagai penutup -secara ‘urf-seperti surban dan tanah liat.
Jika yang digunakan tidak dianggap sebagai penutup, maka tidak masalah seperti meletakkan tangan di atas sebagian kepalanya. Dan seperti berendam di dalam air, dan berteduh di bawah tandu yang berada di atas onta, walaupun sampai menyentuh kepalanya.
Dan menutup wajah atau sebagiannya bagi orang wanita dengan menggunakan sesuatu yang dianggap penutup.
Bagi seorang wanita wajib menutup bagian wajah yang tidak mungkin baginya untuk menutup kepala kecuali dengan menutup bagian wajah tersebut.
Bagi seorang wanita diperkenankan untuk mengenakan cadar yang direnggangkan -tidak sampai menyentuh- dari wajah dengan menggunakan kayu dan sesamanya.
Seorang khuntsa, sebagaimana keterangan yang disampaikan oleh Qadli Abu Thayyib, diperintah agar menutup kepalanya, dan diperkenankan untuk mengenakan pakaian berjahit.
Adapun masalah fidyahnya, maka menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama’) bahwa sesungguhnya seorang khuntsa jika menutup wajah atau kepalanya, maka tidak wajib fidyah karena masih ada keraguan. Namun jika menutup keduanya, maka wajib fidyah.
Yang ke tiga adalah menyisir rambut.
Begitulah mushannif memasukkan hal tersebut termasuk dari hal-hal yang diharamkan.
Akan tetapi keterangan di dalam kitab Syarh al Muhadzdzab menyatakan bahwa sesungguhnya menyisir rambut hukumnya makruh, begitu juga menggaruk rambut dengan kuku.
Yang ke empat adalah mencukur rambut, mencabut atau membakarnya.
Yang dikehendaki adalah menghilangkan rambut dengan cara apapun, walaupun ia dalam keadaan lupa.
Yang ke lima adalah memotong kuku, maksudnya menghilangkannya, baik kuku tangan atau kaki dengan dipotong atau yang lainnya.
Kecuali ketika sebagian kuku orang yang sedang ihram pecah dan ia merasa kesakitan dengan hal tersebut, maka baginya diperbolehkan untuk menghilangkan bagian kuku yang pecah saja.
Yang ke enam adalah wangi-wangian, maksudnya menggunakan wewangian secara sengaja dengan sesuatu yang memang ditujukan untuk menghasilkan bauh wangi seperti misik dan kapur barus.
-menggunakan- di pakaian dengan cara menemukan wewangian tersebut pada pakaian dengan cara yang telah terbiasa di dalam penggunaannya. Dan -menggunakan- di badan, bagian luar atau dalam seperti ia memakan wangi-wangian.
Tidak ada perbedaan pada orang yang menggunakan wewangian tersebut, antara orang laki-laki atau perempuan, orang akhsyam (indra pembaunya tidak berfungsi) atau tidak.
Dengan ungkapan “secara sengaja” mengecualikan jika hembusan angin membawa wewangian yang mengenai dirinya, atau ia dipaksa untuk menggunakannya, tidak tahu akan keharamannya, atau lupa bahwa sesungguhnya ia sedang melaksanakan ihram, maka sesungguhnya tidak ada kewajiban fidyah bagi dia.
Jika ia tahu akan keharamannya dan tidak tahu akan kewajiban fidyahnya, maka tetap wajib membayar fidyah.
Yang ke tujuh adalah membunuh binatang buruan yang hidup di darat dan halal dimakan, atau induknya ada yang halal dimakan seperti binatang liar dan burung.
Dan juga haram memburunya, menguasainya, dan mengganggu bagian badan, bulu halus dan bulu kasarnya.
Yang ke delapan adalah akad nikah.
Maka bagi orang yang sedang ihram, haram melakukan akad nikah untuk dirinya sendiri atau orang lain dengan cara wakil atau menjadi wali.
Yang ke sembilan adalah wathi yang dilakukan oleh orang yang berakal dan mengetahui keharamannya, baik melakukan jima’ saat ihram haji atau umrah, di jalan depan atau belakang, dengan laki-laki atau perempuan, istri, budak perempuan yang di miliki atau dengan wanita lain.
Yang ke sepuluh adalah bersentuhan kulit selain bagian farji seperti menyentuh atau mencium dengan birahi.
Adapun bersentuhan kulit tidak dengan birahi, maka hukumnya tidak haram.
Di dalam semua hal tersebut, maksudnya hal-hal yang diharamkan yang telah disebutkan, wajib membayar fidyah, dan akan dijelaskan di belakang.
Hal-Hal Yang Merusak Ihram
Jima’ yang telah dijelaskan di atas bisa merusak ibadah umrah yang disendirikan.
Adapun umrah yang berada di dalam kandungan haji Qiran, maka hukumnya mengikuti haji, baik sah atau rusaknya.
Adapun jima’ bisa merusak haji ketika dilakukan sebelum tahallul awal, baik setelah wukuf atau sebelumnya.
Sedangkan jima’ yang dilakukan setelah tahallul awal, maka tidak sampai merusak status haji.
-kewajiban fidyah di atas tersebut adalah- kecuali akad nikah, karena sesungguhnya akad nikah yang dilakukan tidak sah.
Haji tidak bisa rusak kecuali dengan wathi di bagian farji.
Berbeda dengan bersentuhan pada bagian selain farji, maka sesungguhnya hal tersebut tidak sampai merusak status haji.
Orang yang ihram tidak diperkenankan keluar dari ihramnya sebab telah rusak, bahkan baginya wajib untuk meneruskan amaliyah ihramnya yang telah berstatus rusak.
Di dalam sebagian redaksi, tidak dicantumkan ungkapan mushannif “di dalam ihramnya yang rusak” maksudnya ibadah haji atau umrah dengan cara melaksanakan amaliyah-amaliyah yag masih tersisa.
Ketinggalan Wukuf di Arafah
Barang siapa melaksanakan ihram haji dan ketinggalan wukuf di Arafah sebab udzur atau tidak, maka wajib tahallul dengan melaksanakan amaliyah umrah.
Maka ia melakukan thawaf dan sa’i jika memang belum sa’i setelah thawaf Qudum.
Dan bagi dia, maksudnya orang yang ketinggalan wukuf di Arafah, wajib segera mengqadla’, baik hajinya fardlu atau sunnah.
Qadla’ hanya wajib dilakukan di dalam permasalahan ketinggalan wukuf yang tidak disebabkan oleh hashr (tercegah).
Jika seseorag tercegah untuk melakukan perjalanan, namun ia masih bisa melewati jalan selain jalan yang terjadi pencegahan, maka wajib baginya untuk melewati jalan tersebut, walaupun tahu bahwa dia tetap akan ketinggalan wukuf.
Jika ia meninggal dunia, maka tidak wajib diqadla’i menurut pendapat ashah.
Bagi dia -orang yang ketinggalan wukuf- di samping mengqadla’, juga wajib membayar hadyah.
Meninggalkan Rukun, Kewajiban dan Kesunahan Ihram
Di dalam sebagian redaksi telah ditemukan keterangan tambahan.
Yaitu, barang siapa meninggalkan rukun-rukun yang menjadi penentu sahnya haji, maka dia tidak bisa berstatus halal / lepas dari ihramnya sehingga ia melaksanakan rukun tersebut.
Rukun tersebut tidak bisa digantikan dengan dam.
Barang siapa meninggalkan kewajiban dari kewajiban-kewajiban haji, maka wajib membayar dam. Dan dam akan dijelaskan di belakang.
Barang siapa meninggalkan kesunahan dari kesunahan-kesunahan haji, maka dia tidak berkewajiban apa-apa sebab meninggalkan kesunahan tersebut.
Dari ungkapan matan, telah jelas perbedaan antara rukun, wajib, dan sunnah.