Fiqih : Cara Itikaf – I’tikaf adalah berdiam diri di dalam masjid dengan niat untuk beribadah dan mendekatkan diri pada Allah. Itikaf hukumnya sunnah berdasarkan Al Quran, hadits dan ijmak ulama. I’tikaf disunnahkan untuk menjadi wasilah atau penyambung antara satu ibadah dengan ibadah yang lain agar hubungan seorang hamba dengan Tuhannya tetap terjalin. Sehingga hal itu akan semakin memperkuat sang hamba dalam melaksanakan rutinitas kesehariannya.
Adapun dalil dari Al-Quran adalah:
– QS Al Baqarah 2:187
– QS Al Baqarah 2: 125
Adapun dalil hadits antara lain:
– Hadits riwayat Bukhari (2029) dan Muslim (297) dari Aisyah:
– Hadits riwayat Bukhari (2033) dari Aisyah:
Nama kitab: Terjemah Kitab Fathul Qorib
Judul kitab asal: Fathul Qarib Al-Mujib fi Syarhi Alfazh Al-Taqrib atau Al-Qawl Al-Mukhtar fi Syarh Ghayatil Ikhtishar (فتح القريب المجيب في شرح ألفاظ التقريب أو القول المختار في شرح غاية الإختصار)
Pengarang: Abu Abdillah Muhammad bin Qasim bin Muhammad Al-Ghazi ibn Al-Gharabili
Bidang studi: Fiqih madzhab Syafi’i
Bab I’tikaf
Pengertian I’tikaf
(Pasal) menjelaskan hukum-hukum i’tikaf.
I’tikaf secara bahasa adalah menetapi sesuatu yang baik atau jelek. Dan secara syara’ adalah berdiam diri di masjid dengan sifat tertentu.
I’tikaf hukumnya sunnah yang dianjurkan di setiap waktu.
I’tikaaf di sepuluh hari terakhir di bulan Romadlon itu lebih utama daripada i’tikaf di selain hari tersebut, karena untuk mencari Lailatul Qadar.
Menurut imam asy Syafi’i radliyallahu ‘anh, Lailatul Qadar hanya berada di sepuluh hari terakhir di bulan Romadlon.
Setiap malam dari malam-malam tersebut mungkin terjadi Lailatul Qadar, akan tetapi di malam-malam yang ganjil itu lebih diharapkan.
Malam-malam ganjil yang paling diharapkan adalah malam dua puluh satu atau dua puluh tiga.
Syarat I’tikaf
I’tikaf yang telah dijelaskan di atas memiliki dua syarat.
Salah satunya adalah niat. Di dalam i’tikaf nadzar, dia harus niat fardlu atau niat nadzar.
Yang kedua adalah bertempat di masjid.
Di dalam bertempat, tidak cukup hanya sebatas kira-kira waktu thuma’ninah, bahkan harus ditambah sekira diamnya tersebut dinamakan berdiam diri.
Syarat Orang Yang I’tikaf
Syarat orang yang i’tikaf adalah harus Islam, berakal, suci dari haidl, nifas dan jinabah.
Maka tidak syah i’tikaf yang dilakukan oleh orang kafir, gila, haidl, nifas, dan orang junub.
Jika orang yang melakukan i’tikaf murtad atau mabuk, maka i’tikafnya menjadi batal.
Tata Cara I’tikaf
Orang yang melakukan i’tikaf nadzar tidak diperbolehkan keluar dari i’tikafnya kecuali karena ada kebutuhan manusiawi seperti kencing, berak, dan hal-hal yang semakna dengan keduanya seperti mandi jinabah.
Atau karena udzur haidl atau nifas. Maka seorang wanita harus keluar dari masjid karena mengalami keduanya.
Atau karena udzur sakit yang tidak mungkin berdiam diri di dalam masjid.
Semisal dia butuh terhadap tikar, pelayan, dan dokter. Atau dia khawatir mengotori masjid seperti sedang sakit diare dan beser.
Dengan ungkapan mushannif “tidak mungkin bertempat di masjid” hingga akhir perkataan beliau, mengecualikan sakit yang ringan seperti demam sedikit, maka tidak diperkenankan keluar dari masjid disebabkan sakit tersebut.
Hal-Hal Yang Membatalkan I’tikaf
I’tikaf menjadi batal sebab melakukan wathi (hubungan intim) atas kemauan sendiri dalam keadaan ingat bahwa sedang melakukan i’tikaf dan tahu terhadap keharamannya.
Adapun bersentuhan kulit disertai birahi yang dilakukan oleh orang yang melakukan i’tikaf, maka akan membatalkan i’tikafnya jika ia sampai mengeluarkan sperma. Jika tidak, maka tidak sampai membatalkan.