Fiqih : Anak Terlantar (Laqith) – Laqith adalah anak terlantar karena tidak ada kerabat dekat yang mengurusnya. Baik itu ayah, ibu, kakek atau penggantinya. Dalam hal ini, syariah menjelaskan bagaimana cara memperlakukan anak kecil yang telantar seperti itu.
Dalam bab ini juga dibahas tentang akad wadiah atau barang titipan. Di mana disunnahkan menerima barang titipan apabila itu memungkinkan dan tidak memberatkan dan syarat dan hukum tertentu.
Nama kitab: Terjemah Kitab Fathul Qorib
Judul kitab asal: Fathul Qarib Al-Mujib fi Syarhi Alfazh Al-Taqrib atau Al-Qawl Al-Mukhtar fi Syarh Ghayatil Ikhtishar (فتح القريب المجيب في شرح ألفاظ التقريب أو القول المختار في شرح غاية الإختصار)
Pengarang: Abu Abdillah Muhammad bin Qasim bin Muhammad Al-Ghazi ibn Al-Gharabili
Penerjemah:
Bidang studi: Fiqih madzhab Syafi’i
Daftar Isi
Bab Anak Telantar (Laqith)
- Hukum Laqith
- Hukum Mengambil Laqith
- Syarat Orang yang Mengambil Laqith
Bab Wadiah (Titipan)
- Pengertian wadi’ah
- Hukum Wadi’ah
- Konsekuensi Titipan
Kembali ke: Terjemah Kitab Fathul Qorib
BAB ANAK TERLANTAR (LAQIT)
(Pasal) menjelasakan hukum-hukum laqith
Laqith adalah anak kecil yang terlantar dan tidak ada yang mengurusnya baik ayah, kakek, atau orang-orang yang menggantikan keduanya.
Disamakan dengan anak kecil, sebagaimana yang diungkapkan oleh sebagian ulama’, adalah orang gila yang sudah baligh.
Hukum Mengambil Laqith
Ketika ada seorang laqith, dengan makna malquth (anak yang ditemukan), ditemukan di pinggir jalan, maka mengambilnya dari sana, merawat dan menanggungnya hukumnya adalah wajib kifayah.
Ketika ia sudah diambil oleh sebagian orang yang berhak untuk merawat laqith, maka tuntutan dosa menjadi gugur dari yang lainnya.
Sehingga, jika tidak ada seorangpun yang mau mengambilnya, maka semuanya berdosa.
Seandainya yang mengetahuinya hanya satu orang, maka tuntutan hanya tertentu pada orang tersebut (fardlu ‘ain).
Menurut pendapat al ashah, wajib mengangkat saksi atas temuan anak terlantar.
Syarat Orang yang Mengambil Laqith
Mushannif memberi isyarah terhadap syarat-syarat penemu anak terlantar dengan perkataan beliau -di bawah ini-.
Seorang laqith tidak diserahkan kecuali pada orang yang dapat dipercaya, merdeka, islam dan rasyid.
Jika ditemukan harta besertaan dengan anak tersebut, maka seorang hakim menafkahinya dari harta itu. Bagi si penemu tidak diperkenankan menafkahi anak tersebut dari harta itu kecuali dengan izin hakim.
Jika tidak ditemukan harta besertaan dengan anak tersebut, maka nafkahnya diambilkan di baitulmal, jika memang ia tidak memiliki hak pada harta yang umum seperti harta wakaf untuk anak-anak terlantar.
BAB WADI’AH (BARANG TITIPAN)
Pengertian wadi’ah
Lafadz “wadi’ah” yang mengikut pada wazan “fa’ilatun” diambil dari fi’il madli “wadda’a” (orang meninggalkan) ketika ia meninggalkannya.
Secara bahasa, wadi’ah diungkapkan pada sesuatu yang dititipkan pada selain pemiliknya untuk dijaga.
Dan secara syara’ diungkapkan pada akad yang menetapkan penjagaan.
Hukum Wadi’ah
Wadi’ah adalah amanah yang berada di tangan wadi’ (orang yang dititipi).
Disunnahkan untuk menerima titipan bagi orang yang mampu melaksanakan amanah pada titipan tersebut, jika memang di sana masih ada orang yang lain.
Jika tidak ada, maka wajib untuk menerimanya sebagaimana yang dimutlakkan oleh segolongan ulama’.
Imam an Nawawi berkata di dalam kitab ar Raudah dan kitab asalnya, “hukum ini diarahkan untuk penerimaannya saja bukan masalah menggunakan kemanfaatan dan tempat penjagaannya secara gratis.”
Konsekuensi Titipan
Wadi’ tidak wajib mengganti barang titipan kecuali ia berbuat ceroboh pada barang titipan tersebut.
Bentuk-bentuk kecerobohan itu banyak dan disebutkan di dalam kitab-kitab yang panjang penjelasannya.
Di antaranya adalah ia menitipkan barang titipan tersebut pada orang lain tanpa seizin pemilik dan tidak ada udzur padanya.
Di antaranya adalah ia memindah barang titipan dari satu perkampungan atau satu rumah ke tempat lain yang ukuran keamaannya di bawah tempat yang pertama.
Ucapan al muda’ (orang yang dititipi), dengan membaca fathah pada huruf dalnya, diterima dalam hal mengembalikannya pada al mudi’ (orang yang menitipkan), dengan dibaca kasrah huruf dalnya.
Bagi wadi’ harus menjaga barang titipan di tempat penjagaan barang sesamanya.
Jika tidak dilakukan, maka ia memiliki beban menggantinya.
Ketika wadi’ diminta untuk mengembalikan barang titipan, namun ia tidak memberikannya padahal mampu ia lakukan, hingga barang tersebut rusak, maka ia wajib menggantinya.
Sehingga, jika ia menundah untuk mengembalikan sebab ada udzur, maka ia tidak wajib menggantinya.