Fiqih Tentang Pengasuhan Anak atau Hadhanah – Hadhanah (Arab: الحضانة) adalah hak pengasuhan anak atas pasangan suami istri yang bercerai. Siapa yang lebih berhak mengasuh anak antara istri dan suami? Menurut madzhab Syafi’i sebagaimana disebut oleh Al Ghazi dalam Fathul Qarib istri lebih berhak mengasuh anak.
Bab: Pengasuhan anak pasangan yang bercerai (Arab: Hadhanah , hadanah, hadlanah, hadlonah, hadhanah)
Nama kitab: Terjemah Kitab Fathul Qarib
Judul kitab asal: Fathul Qarib Al-Mujib fi Syarhi Alfazh Al-Taqrib atau Al-Qawl Al-Mukhtar fi Syarh Ghayatil Ikhtishar (فتح القريب المجيب في شرح ألفاظ التقريب أو القول المختار في شرح غاية الإختصا).
Pengarang: Abu Abdillah Muhammad bin Qasim bin Muhammad Al-Ghazi ibn Al-Gharabili.
Bidang studi: Fiqih madzhab Syafi’i.
Dalam hal ini Pengetahuanislam.com akan membahas mengenai Fiqih Tentang Pengasuhan Anak atau Hadhanah dengan secara singkat dan jelas.
Fiqih Tentang Pengasuhan Anak atau Hadhanah
Pengertian Hadonah (Pengasuhan Anak)
Secara bahasa, Hadhanah diambil dari lafadz “al hadln” dengan terbaca kasrah huruf ha’nya, yaitu bermakna lambung. Karena ibu yang merawat anak kecil akan menempelkan anak tersebut ke lambung sang ibu.
Dan secara syara’ adalah menjaga anak yang belum bisa mengurusi dirinya sendiri dari hal-hal yang bisa menyakitinya karena belum tamyiz seperti anak kecil dan orang dewasa yang gila.
Ketika seorang lelaki bercerai dengan istrinya dan ia memiliki anak dari istri tersebut, maka sang istri lebih berhak untuk merawat sang anak.
Maksudnya merawat sang anak dengan sesuatu yang positif padanya dengan mengurusi makanan, minuman, memandikan, mencuci pakaian, merawatnya saat sakit dan hal-hal positif yang lain bagi sang anak.
Biaya Asuh
Biaya Hadhanah ditanggung oleh orang yang wajib menafkahi anak tersebut.
Ketika sang istri enggan merawat anaknya, maka hak asuh berpindah pada ibu sang istri.
Masa Asuh
Hak asuh sang istri terus berlangsung hingga melewati usia tujuh tahun.
Mushannif mengungkapkan tujuh tahun karena sesungguhnya tamyiz biasanya sudah wujud pada usia tersebut, akan tetapi intinya adalah hingga tamyiz, baik wujudnya sebelum tujuh tahun atau setelahnya.
Kemudian setelah itu, bocah yang sudah tamyiz tersebut disuruh memilih di antara kedua orang tuanya. Mana yang dia pilih, maka sang anak diserahkan padanya.
Lalu, jika salah satu dari kedua orang tuanya memiliki kekurangan seperti gila, maka sang anak diserahkan pada orang tua yang satunya selama sifat kurang tersebut masih ada pada orang tua yang satu itu.
Jika ayahnya sudah tidak ada, maka sang anak disuruh memilih di antara kakek dan ibunya.
Begitu juga sang anak disuruh memilih di antara ibu dan orang-orang yang masih memiliki hubungan nasab dari jalur samping seperti saudara atau paman dari ayah.
Syarat-Syarat Hadhanah
Syarat-syarat Hadhanah ada tujuh :
Salah satunya adalah berakal. Sehingga tidak ada hak asuh bagi orang gila, baik gilanya terus menerus atau terputus-putus.
Lalu, jika gilanya sang istri hanya sebentar seperti sehari dalam satu tahun, maka hak asuhnya tidak batal sebab penyakit tersebut.
Yang kedua adalah merdeka. Sehingga tidak hak asuh bagi seorang budak wanita walaupun majikannya memberi izin padanya untuk mengasuh.
Yang ketiga adalah agama. Sehingga tidak ada hak asuh bagi wanita kafir atas anak yang beragama islam.
Yang ke empat dan kelima adalah ‘iffah (terhormat) dan amanah. Sehingga tidak ada hak asuh bagi wanita fasiq.
Di dalam hak asuh, sifat adil yang bathin tidak disyaratkan harus nampak nyata, bahkan sudah cukup dengan sifat adil yang dhohir saja.
Yang ke enam adalah bermuqim di daerah sang anak. Dengan artian kedua orang tuanya muqim di satu daerah.
Sehingga, seandainya salah satu dari keduanya ingin bepergian karena ada hajat seperti haji dan berdagang, baik jarak perjalanannya jauh atau dekat, maka anak yang sudah tamyiz atau belum diserahkan kepada orang yang muqim dari kedua orang tuanya hingga yang sedang bepergian telah kembali.
Seandainya salah satu dari kedua orang tuanya ingin pindah daerah, maka sang ayah lebih berhak daripada sang ibu untuk mengasuh, sehingga sang anak diambil oleh sang ayah dari tangan sang ibu.
Syarat ketujuh adalah sepi, maksudnya sepinya ibu sang anak yang tamyiz dari seorang suami yang bukan termassuk dari mahramnya sang anak.
Sehingga, jika sang ibu menikah dengan seorang lelaki dari mahramnya sang bocah seperti paman, anak laki-laki paman, atau anak laki-laki saudara laki-laki sang bocah, dan masing-masing dari mereka rela dengan sang bocah, maka hak asuh ibunya tidak bisa gugur sebab pernikahan.
Jika salah satu tujuh syarat tersebut tidak terpenuhi oleh sang ibu, maka hak asuhnya menjadi gugur sebagaimana penjelasan yang telah diperinci.
Demikian penjelasan mengenai Fiqih Tentang Pengasuhan Anak atau Hadhanah, semoga dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan islam.