Bolehkah Wanita Melaksanakan I’tikaf??? – Pada kesempatan ini Pengetahuan Islam akan membahas tentang I’tikaf. Karena yang sering melaksanakan i’tikaf adalah para lelaki, muncul kesan bahwa ibadah i’tikaf khusus dilaksanakan oleh kaum Adam. Sehingga ada anggapan bahwa kaum hawa tidak disyariatkan untuk melaksanakannya. Apalagi bagi kaum hawa yang juga ingin mendapatkan pahala besar melalui ibadah puncak di bulan penuh berkah?
Nah, Bagaimana bila hukumnya wanita melaksanakan i’tikaf?… Boleh atau tidak, tentu sahabat bertanya-tanya bagaimana hal tersebut. Untuk lebih jelasnya silahkan simak artikel Pengetahuanislam.com berikut ini.
Bolehkah Wanita Melaksanakan I’tikaf???
I’tikaf termasuk amal shalih yang disyariatkan pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadlan. Dan sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada sepuluh hari terahir dari Ramadlan itu. Dalam Shahih Al-Bukhari (2026) dan Muslim (1172) dari jalur ‘Urwah, dari Aisyah radliyallaahu ‘anha,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Artinya :
“Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadlan hingga Allah mewafatkannya. Kemudian i’tikaf dilanjutkan oleh istri-istri beliau.”
Hal itu menunjukkan bahwa i’tikaf disyariatkan bagi kaum laki-laki dan wanita. Para ulama juga telah berijma’ (bersepakat) i’tikaf laki-laki tidak sah kecuali di masjid. Mereka berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Artinya :
“Dan janganlah kamu campuri mereka itu (istri-istrimua), sedang kamu beri`tikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Begitu juga dengan dasar pelaksanaan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang di masjid.
Pendapat Para Ulama
Jumhur ulama dari kalangan Madhab Hanafi, Maliki, syafi’i, Hambali, dan lainnya berpandangan bahwa kaum perempuan seperti laki-laki, tidak sah i’tikafnya kecuali di masjid. Maka tidak sah i’tikaf yang dilaksanakannya di masjid rumahnya. Pendapat ini berbeda dengan yang dipahami madhab Hambali, mereka berkata,
“Sah i’tikaf seorang wanita yang dilaksanakan di masjid rumahnya.”
Sedangkan pendapat jumhur jelas lebih benar, karena pada dasarnya laki-laki dan wanita sama dalam hukum kecuali ada dalil yang menghususkannya. Karena itu disyariatkan bagi wanita yang akan beri’tikaf untuk melaksanakannya di masjid-masjid. Namun perlu diketahui, bagi wanita yang memiliki suami tidak boleh beri’tikaf kecuali dengan izin suaminya menurut pendapat jumhur ulama. Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِه
Artinya :
“Janganlah seorang wanita berpuasa sementara suaminya ada bersamanya, kecuali dengan seizinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026 dari jalur Thariq Abu al-Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu)
Apabila dalam urusan puasa saja seperti ini maka dalam i’tikaf jauh lebih (ditekankan untuk mendapat izin dari suaminya), karena hak-hak suaminya yang akan terabaikan jauh lebih banyak.
Begitu juga perlu diingatkan, bahwa apabila kondisi diamnya seorang wanita di masjid tidak terjamin keamananya, seperti keberadaannya di situ membahayakan bagi dirinya atau akan menjadi tontonan, maka ia tidak boleh beri’tikaf.
Karena itulah para fuqaha’ menganjurkan bagi wanita apabila beri’tikaf supaya menutup diri dengan kemah dan semisalnya berdasarkan perbuatan Aisyah, Hafshah, Zainab pada masa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Diterangkan dalam Shahih Al-Bukhari (2033) dan Muslim (1173) dari jalur Yahya bin Sa’id bin Amrah, dari Aisyah,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلَمَّا انْصَرَفَ إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ إِذَا أَخْبِيَةٌ خِبَاءُ عَائِشَةَ وَخِبَاءُ حَفْصَةَ وَخِبَاءُ زَيْنَبَ
Artinya :
“Bahwasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam hendak beri’tikaf. Maka ketika beliau beranjak ke tempat yang hendak dijadikan beri’tikaf di sana sudah ada beberapa kemah, yaitu kemah Aisyah, kemah Hafshah, dan kemah Zainab.”
Semua itu menunjukkan bahwa disyariatkan mengadakan penutup (satir) bagi wanita yang beri’tikaf dengan tenda (kemah) dan semisalnya. Wallahu Ta’ala a’lam.
Demikianlah pembahasan tentang Bolehkah Wanita Melaksanakan I’tikaf???. Semoga dapat memberikan manfaat dan ilmu pengetahuan kita semua. Terima kasih.